Musik: dalam sebuah pendekatan personal
I think music in itself is healing. It's an explosive expression of humanity. It's something we are all touched by. No matter what culture we're from, everyone loves music.
(Billy Joel)
Jagad musik dunia selalu diramaikan dengan karya-karya baru yang memanjakan telinga (dan mata) dengan berbagai kebaruan yang selalu menarik untuk ditelaah... atau dinikmati saja.
Mungkin banyak sekali orang yang merasa mereka sedemikian superior sehingga istilah "over-rated" jadi kata "sakti" yang kerap muncul bersama keberhasilan seorang musisi di dunia hiburan dunia. They might be right... or wrong. Apakah dunia ini punya formula musik yang baik seperti apa? Apakah ada formula untuk menciptakan sebuah karya masterpiece? Hell ya, NO! Nggak ada.
Musik adalah soal selera, kedekatan emosional pendengar dengan apapun yang disampaikan oleh lirik, kemudahan irama diterima oleh telinga dan kondisi jiwa... rata-rata hanya sesimpel itu, kenapa pada akhirnya sebuah lagu disukai atau tidak oleh telinga. Dan terakhir... SELERA. Sama seperti lidah yang bisa mendapuk rendang sebagai salah satu makanan paling enak di dunia, tapi ada juga kok yang tidak suka dengan rendang, karena berbagai alasan. Maka ketika seseorang bilang dia nggak suka rendang karena menurut dunia enak, apakah ada yang berhak bilang "selera loe aneh!".
Begitu pun musik.
"KPop is just bunch of pretty boy who can't sing and only dance."
"Taylor Swift so over-rated, coz she only can write songs about her relationship"
"Only punk listen underground music... is it even possible to listen?!"
"Alternative is just for the deaf... it's just people screams and bark"
etc...
*
Hanya karena kita tidak suka pada satu jenis musik, maka musik itu jelek, maka selera yang suka aneh, maka kalau itu terkenal itu "over-rated".
Kalau ditilik sedikit lebih serius, sudah banyak kajian yang membahas soal ini:
“a musical experience may give rise in some listener to a subjective feeling or emotion. That feeling may or may not be ‘identical’ with, or congruent with, a feeling-tone ascribed to the music. If it is not, the relation may be a matter of psychological causation, dependent on the listener’s personal make-up and history… The listener may (correctly or incorrectly) identify a piece of music as having, or as being meant to have, a certain conventional affective significance,… (or) identify a piece of music as evincing (being caused by, being symptomatic of) a certain feeling or disposition in composer and/or performer.” Sparshott, ‘Music and Feeling’.
(Source: Music & Emotions, Philosophy Now: a magazine of ideas)
Musical meaning isn't just about the sounds themselves, but also about how they relate to our emotions, experiences, and cultural context. Music conveys meaning through various means, including its formal structure, emotional content, and how it resonates with individual and cultural backgrounds
(Source: Jennifer Robinson, Music and Meaning: An Evolutionary Story)
**
Seiring dengan masa, maka penyanyi seringkali menciptakan penggemar dan dalam bahasa kerennya fandom. Para penggemar yang secara emosional terikat dengan penyanyi tertentu dan tidak hanya menikmati karya musiknya, namun juga berkumpul untuk membahas karya musiknya, hingga mendukung keberhasilan si penyanyi. Fandom yang kerap dilekatkan dengan kata "fanatisme". Yang dianggap "berani mati" demi membela artis yang mereka gemari. Tapi apakah memang seperti itu?
Izinkan saya menulis berdasakan pengalaman sebagai penikmat musik kasual yang mengisi playlist saya dengan puluhan artis tanpa batasan bahasa dan genre. Sebagai mahluk introvert garis keras, musik adalah teman saya bekerja, di perjalanan, sendiri di keramaian, dan modus supaya tidak diajak ngobrol ketika sedang menunggu (dengan headset nangkring maksimal). Saya adalah penggemar lagu dengan lirik "bermakna", lagu yang punya visi, nggak sekedar enak didengar; musisi yang tidak hanya bisa bernyanyi tapi juga bisa menghangatkan panggungnya, yang bisa menjangkau pendengarnya.
***
Oke, kembali ke kedekatan pada musik...
Musik itu universal bukan?
Atau musik itu hanya terbatas pada genre-genre tertentu, berbahasa tertentu, dengan karakteristik tertentu, lalu yang boleh populer, yang boleh dianggap bagus hanya musik dari belahan bumi tertentu, kasta musik belahan barat lebih tinggi daripada kasta musik dari belahan bumi lain, penyanyi yang memiliki kualitas suara dan bernyanyi dengan gaya serius lebih berhak dihormati dibandingkan penyanyi dari penyanyi yang bernyanyi sambil menari, dan seterusnya?
Musik itu untuk semua orang kan?
Atau musik itu hanya hak orang-orang tertentu yang punya musikalitas baik, yang nggak tone-deaf, yang sekolah musik, yang bisa memainkan alat musik, yang bisa nyanyi?
Lalu kenapa fan-war dan netizen jaman now seolah selalu sibuk mengomentari karya musik dengan imbuhan-imbuhan negatif yang merendahkan? Semahadewa apa kamu soal musik?
Ini cuma perspektif saya ya... manusia normal yang buta nada, suara buruk sampai bikin sakit telinga kalau karaoke, nggak bisa main alat musik sama sekali, nggak ngerti bedanya suara sopran, falseto, etc. Hanya penikmat yang ingin berbahagia menikmati musik dan karya musikalitas apapun yang saya inginkan.
Saya nggak terlalu terobsesi dengan kualitas vokal penyanyi-penyanyi favorit saya, mereka nggak harus selalu sempurna, tidak semua albumnya saya puja. Saya berpasang-dan bersurut bersama musik dalam arti kadang album A penyanyi A saya bisa putar berulang-ulang sampai (orang di sekitar saya) bosan, tapi di album B penyanyi A, nggak ada satu pun lagunya masuk di playlist saya. So yes, saya hanya penikmat musik!
Tapi sebagai pengguna sosial media, saya kok sedih ya melihat fan-war dan perbedatan yang mendewakan penyanyi tertentu sambil merendahkan penyanyi lain. Apakah waktu kecil nggak pernah diajarin "merendahkan orang lain tidak membuat dirimu lebih tinggi dan lebih baik dari orang itu"?
****
Saya mau pin poin kenapa Taylor Swift, BTS, Sabrina Carpenter, dan lain-lain populer berdasarkan apa yang saya tahu saja... si penikmat musik ini:
Taylor Swift: Soal kualitas vokal, well nggak usah jadi ahli untuk tahu kualitas vokal TS nggak istimewa-istimewa amat, tapi sadar nggak sadar kita mudah sekali merasa dekat dengan liriik dan lagu-lagunya.
Let me show you some!
Coba dengerin lirik "Enchanted" ini:
I was enchanted to meet you. Please don't be in love with someone else. Please don't have somebody waiting on you. Please don't be in love with someone else.
Pernah jatuh cinta dong! Pernah dong ngebatin begini soal gebetan?
Banyak sekali lirik lagu TS yang relate sama manusia umum. Lihat "We Are Never Getting Back Together", "Shake It Off", bahkan "All to Well" (my personal favorite) lekat membahasakan pahitnya bangkit dari patah hati.
TS mungkin nggak punya range suara seluas Celine Dion, teknik vokalnya memang tidak sebaik Ariana Grande. Tapi TS menyanyikan dan membuat komposisi lagu dan liriknya sendiri (tentu saja dengan bantuan timnya), jadi setiap lagu bisa ia buat sesuai range suaranya. Karenanya ia bisa bernyanyi sambil main gitar, atau sambil nari, bahkan sambil berlarian antar sayap panggung. She's an entertainers...
Kalau dia dianggap over-rated... ya mungkin memang kamu bukan pasarnya aja. Just skip it.
BTS: Kemarin di konser Coldplay di Korea (4/19/25), Chris Martin membuat statement "Coldplay is the second best band in the world, BTS maybe No. 1, I think". Heboh? Jelas! Lagi-lagi BTS selalu dicap over-rated, dianggap besar hanya karena punya basis fans (Army) yang besar, selebihnya dianggap less-talented dibanding Kpop artis pada umumnya dan nggak pantas disandingkan dengan artis dunia lainnya. Tapi Chris Martin, salah satu band terbesar asal Inggris yang sudah mendunia, salah satu artis terlaris dengan kesulitan dapat tiket konser tinggi pun mengapresiasi BTS.
Sama seperti TS, BTS bukan besar karena kemampuan semua member di atas rata-rata. Semua member bisa bernyanyi dengan baik, kalau ada yang bilang sebaliknya, mungkin yang perlu dikoreksi adalah "hati" yang memilih mencari kesalahan saja. Setiap member memiliki genre suara yang berbeda, lihat solo album mereka. 7 laki-laki dengan genre musik berbeda.
Apa yang membuat BTS besar? Apakah Army muncul tiba-tiba? Tentu saja tidak. Beberapa Army (tidak bisa menyebut besaran) adalah bukan penikmat K-pop, mereka simply hanya suka BTS, dan kiblat musik mereka sebelumnya jelas bukan K-pop. Lalu kenapa BTS?
Lagi-lagi sama seperti TS. Karena kedekatan dengan lagu-lagunya. Bedanya, lagu ini membawa mereka mengenal sosok-sosok pemuda yang selama ini "tidak dianggap" di panggung K-pop. BTS adalah soal perjuangan 7 pemuda dari agensi kecil yang hampir bangkrut. Yang merayakan ulang tahun pertamanya di apartemen kecil 1 kamar ditempati bertujuh. Yang memasak sendiri makanan, dan menghias sendiri cake dan ruangan apartemen menjadi lebih layak sebagai sebuah tempat perayaan.
Army satu per satu hadir mungkin karena empati dan simpati, tapi dasar mereka menjadi sebesar itu tentu saja tetap karya. Buat pembenci, saya cuma bisa bilang, saya bukan Army. Saya adalah penikmat musik yang kebetulan jatuh cinta dengan lagu "Spring Day", "Mic Drop", "Black Swan", "Epiphany", dan masih banyak lagi, semua karena satu hal... LIRIK!
Are they don't deserve the throne? Let the audience decides.
Another un-popular opinion:
Genre Musik Berisik (Alternative Rock, Heavy Metal, dan kawan-kawan): Saya pernah dikomplain orangtua saya, beberapa teman, dan beberapa orang yang pernah masuk ke mobil saya dan mendengarkan saya mendengarkan Linkin Park jaman kuliah dulu.
"wong mbengok-mbengok ngene mbok rungokne tho, nduk. Opo ra ngiseni" (orang teriak-teriak gini kok didengerin sih. Apa nggak berisik"
"Kalik syarat jadi penyanyi metal itu harus bisa teriak-teriak ya?"
"Musik berisik begini kok suka sih?"
Well, itu cuma beberapa ya...
Saya buta nada sih... cuma apakah penyanyi rock alternative dan barisannya itu juga? Kan nggak! Itu adalah cara bermusik mereka, itu adalah genre yang mereka sukai. Apakah penyanyi metal harus kemudian dicap negatif karena gaya musik dan tampilan mereka di atas panggung? Apa bedanya dengan menstigma penyanyi K-pop plastik dan cuma modal muka ganteng/cantik dan bisa nari?
******
STIGMA!
Itu lah yang (di)lekat(kan) dengan musik yang membuat musik tidak lagi berfungsi sebagai fungsi dasarnya, bahasa universal. Stigma-stigma di atas hanya sebagian kecil dari "ketidakmampuan kita menikmati jenis musik tertentu" lalu memberikan cap negatif kepada produk dan karya musik.
Di akhir kata, setelah muter-muter, kalau memang tidak bisa berkarya dan mengayakan musik dengan kemampuan kita... yuk kita:
- Jadi penikmat yang baik saja. Dengarkan yang kita sukai, apresiasi sebaik mungkin.
- Hargai orang lain yang memiliki selera musik berbeda.
- Biarkan setiap karya bersinar di waktunya masing-masing.
- Skip kalau memang tidak suka.
- Lebih baik diam daripada bicara buruk yang tidak berguna.
- Percayalah, di dunia musik yang keras itu, mereka yang memang tidak berbakat akan hilang pada waktunya.
Itu saja...
Komentar
Posting Komentar