Thunderbolts* (The New Avengers) is it just another superheroes movies?
Kalau ada yang tanya saya di sisi mana di perdebatan DC versus Marvel, saya enteng akan menjawab #teamMarvel ... yah, walaupun sejak pandemi, mulai mempertanyakan apakah saya tetap layak menjadi bagian dari fandom itu. Terus terang terlalu banyakkkkkk (ya, ini bukan typo) film Marvel dan series-nya yang mengecewakan.
Oh no, saya bukan type yang over-hype, selalu ogah over-analysis juga terkait film-film Marvel. I just love the bright-side effects yang sering dibawa Marvel. Saya menjadikan kecintaan saya kepada film superhero sebagai hiburan kasual, bukan penggemar berat.
Setelah puasa lama sejak The Avengers: End Game, saya mungkin hanya tertarik dengan Spider-man No Way Home dan Doctor Strange in the Multiverse of Madness, yang yaaaaaahhh gitu aja, ketertarikan yang membawa saya bersedia jalan ke bioskop. Film Marvel lainnya... saya lebih milih menunggu sampai bisa nonton di rumah, sambil makan seblak. Beberapa bahkan tidak ditonton karena premisnya nggak cukup menarik sejak awal. I'm not soo #teamMarvel anymore.
Setelah sekian purnama itu, akhirnya Thunderbolt* muncul. Premis nya saja menarik... para anti-hero... mereka yang (kerap dicap) pecundang... si nomor 2... mendadak "terpaksa bersatu" setelah hendak dimusnahkan dan dipermalukan... semua karena Bob.
Ha?
Bob? Who?
BOB! Coba saja hitung berapa kali nama Bob disebut dalam film ini. Yakin keluar dari studio, nama itu akan masih nancep sekaligus bikin senyum geli.
Saya nggak akan cerita atau spoiler apapun tentang film ini. Karena kalian HARUS NONTON!
Well, buat penggemar film superheros, mungkin film ini "blah!", "begitu doang?", "klise". Tapi saya yakin ada banyak juga yang keluar dengan hati hangat dan puas seperti saya.
Thunderbols* bukan film superhoeroes pada umumnya. Nggak ada... atau belum ada yang kayak gini selama ini. Dan angin segar ini yang ingin saya persuasi luarbiasa.
Ketika nonton film Marvel, beberapa penggemar casual berfikir, "ah, gue belum kenal karakternya, ntar nggak nyambung." Ini nggak berlaku buat Thunderbolts*. Para karakter langsung lekat dengan karakter-karakter lain, kita mungkin bisa langsung menyadari relasi mereka dengan series yang mana. Paling tidak beberapa di antara mereka. Tapi itu tidak mempengaruhi cerita sama sekali. Latar belakang karakter dibocorin tipis-tipis, cukup untuk memancing rasa ingin tahu saja.
Jadi apa kelebihan Thunderbolts* yang actually no one sampai bisa melanjutkan nama besar para superheroes pendahulunya di The Avengers?
Film ini adalah free therapy... atau bisa dibilang, film ini kayak terapi psikologi yang menyenangkan dan ringan.
Kenapa bawa-bawa psikologi? Karena memang muatan psikologi kental di sini. Kita mungkin tahu dengan masalah psikologis yang dialami Wanda Maximoff (Scarlet Witch) di Doctor Strange in the Multiverse of Madness. Berat, gelap, destruktif, dan kita dibuat paham alasannya, apa trigger-nya. Bahkan hingga akhir, Wanda tampak belum bisa berdamai dengan kondisinya.
Thunderbolts* mengangkat permasalahan yang sama, kali ini dengan lebih ringan. Lebih kasual. Di antara adegan-adegan pemancing tawa, tiba-tiba muncul percakapan serius antara Yelena dan ayahnya. Percakapan dengan topik serius, tentang kesepian, tentang hubungan anak dan orangtua, tentang kesalahpahaman, tentang cara mengatasi duka dan berdamai dengan diri sendiri... tapi dibalut dengan gaya setengah komedi. Sambil berjalan di antara keramaian lalu lalang kota New York di siang bolong. Bagi yang merasa relevan, ini mengharukan. Bagi yang tidak relate, ini komedi satir. Tetap menghibur mau dilihat dengan cara manapun.
Thunderbolts* mungkin tidak menawarkan aneka adegan jedar-jeder full action sebagai klimaks seperti series/film Marvel pada umumnya. Setelah The Void bangkit dan menyebarkan kegelapan sambil melenyapkan satu demi satu penduduk New York, adegan justru mengajak menonton untuk berkontemplasi dengan pengalaman buruknya melalui para karakter. Kita diajak berjuang bersama Yelena, bertarung dengan masa lalu terburuknya. Hingga ia akhirnya bisa menemukan Bob yang memilih mengurung diri di salah satu "kamar" teraman dalam hidupnya. Bucky* and the team juga harus menembus "ruang-ruang pengalaman buruk" masing-masing dan berjuang bersama Bob dan Yelena.
Klimaks film berdurasi lebih dari 2 jam Thunderbolts* bukan adegan baku hantam, pertarungan heroik yang epic seperti biasa, namun pertarungan psikologis The Void untuk melenyapkan naluri manusia dan kebaikan hati Bob dan mengukungnya dalam kegelapan. Upaya itu mungkin berhasil, seandainya Yelena, Bucky, dan timnya tidak ada di sana. Adegan pertarungan klimaks itu justru ditutup dengan sebuah pelukan hangat dari seluruh tim untuk Bob, memastikan bahwa Bob tidak akan pernah sendiri, dan mereka tidak akan pernah meninggalkan, dan menganggapnya tidak penting. Dan satu pelukan erat itu berhasil memaksa The Void "hilang".
Some of you might think, "it's soo cringe!", ini bukan film action, mereka menang bukan dengan kemampuan superhero mereka. Yah, mungkin kalian benar. Tapi sekali lagi ini yang membedakan Thunderbolts* dengan film Marvel lain.
Dalam sebuah wawancara Florence Pugh (pemeran Yelena) pernah bilang "and in sense, loneliness, and depression, and mental health are the villain in this." Dan deskripsi itu akurat 100% sejak paruh tengah film. Semua karakter dalam Thunderbolts* memiliki masa lalu kelam yang sedang berusaha mereka lawan.
"The past doesn't go away. So you can either live with it forever... or do something about it."
--Bucky Barnes--
And in the end they choose to do something. Bukan untuk menjadi pahlawan, bukan untuk diakui, bukan pembuktian, tapi untuk berdamai dengan diri sendiri dan sebuah panggilan naluriah untuk menjadi bagian dari kebaikan.
Banyak hal luar biasa tentang kesehatan mental yang berusaha disuarakan oleh film ini:
- Seperti Bob dan The Void, musuh terbesar kita sebenarnya bukan orang lain, melainkan diri sendiri. Jadi untuk melawan setiap keburukan yang disuarakan isi kepala, yang bisa melawannya adalah diri kita sendiri.
- Ya memang permasalahannya ada di diri kita, tapi bukan berarti segala hal bisa kita selesaikan sendirian, atau memilih diam berharap bisa selesai dengan sendirinya. Yelena mengajak Bob untuk membagi keresahannya, dengan berbagi (dengan orang yang tepat) kita tidak akan terlalu merasa sendirian lagi; kekosongan itu akan berlahan terisi; dan akan tumbuh rasa aman ketika melalui semua dengan seseorang (atau dalam hal kasus Bob segambreng).
- You can call friendship theme is cringe or old-school, tapi seandainya ketika Wanda merasa dunianya hancur setelah kepergian Vision, ada yang berperan seperti Yelena bagi Bob, untuk berdiri di sisinya dan memeluknya, maka hal buruk yang terjadi di film Doctor Strange in the Multiverse of Madness nggak akan terjadi.
- Suka tidak suka, pelukan erat dan sikap penuh empati Yelena dan tim Thunderbolts* lah yang membantu Bob mengalahkan The Void. Dan tanpa ingin membandingkan, "keluarga" yang digadang-gadang oleh The Avengers phase 1 (khususnya pasca Nath tiada) nggak mampu menolong seorang Scarlet Witch dari "kesakitannya".
Pada akhirnya, kita bisa melihat bahwa kadang kualitas fisik superhero saja belum tentu bisa menang bertarung melawan diri sendiri, atau melawan kekuatan super di atas kemampuan kita. "Kerjasama" yang selama ini selalu jadi kata sakti sekarang naik kelas ke level psikologis yang lebih tinggi, empati.
Menyuarakan permasalahan kesehatan mental melalui film Marvel nggak bisa dibilang over-rated. Ini membuka peluang untuk membangun kesadaran dan kepedulian bahwa masalah ini ada dan nyata.
Thunderbolts* secara kekuatan mungkin hanya seujung jari para Avengers pendahulunya. Tapi setidaknya mereka membuktikan bahwa mereka akan selalu ada untuk satu sama lain, tidak terpecah hanya karena ego masing-masing.
As Alexei said:
"This has makings of TEAM... that can raise to glory! Bring light from the darkness! This team can be the heroes on the wheaties box... with the little kiddy toy!"
*I should gives the highlights for Bucky', karena seluruh penggemar Marvel pasti tahu, pengalamam masa lalu Bucky tidak hanya sangat panjang, namun juga salah satu yang paling kelam di seluruh universe Marvel. Maka ketika ia muncul di "kamar Bob" berceletuk ringan tentang masa lalunya. We both know it hurts!
Komentar
Posting Komentar