"Posesif" (Film)
--Sebuah film yang diRekomendasikan untuk Remaja, untuk Orangtua, untuk Anda
“Semua akan baik-baik saja selama aku bisa meloncat dan menyesap senyap di dalam air. Dalam air, semua kebisingan mereda. Air, tempatku bisa bersembunyi sebentar untuk kemudian kembali naik ke permukaan.”
Anda mungkin bukan penggemar film Indonesia, seperti saya. Hehehe... Bukannya tidak cinta pada produk sinema Indonesia, tapi terus terang saya yang moviegoers ini sering kali keluar bioskop dengan kecewa setelah menonton film lokal. Hanya sedikit sekali film buatan anak bangsa yang bisa memuaskan hati saya. Beberapa dari sedikit itu di antaranya adalah "Jelangkung", "Rumah Dara", dan "Belahan Jiwa".
Tapi ada nuansa berbeda dengan "Posesif". Ketika Mazda, teman saya, merekomendasikan film ini, saya sih terus terang penasaran. Trailer sih jelas-jelas menceritakan tentang kehidupan remaja dengan setting putih-abu-abunya, klasifikasi usianya pun R13+, tapi tidak menyurutkan niat saya.
Mendengar genre romantic-suspense-nya, terus terang saya menduga akan bertemu dengan adegan suspense yang intens berbalut hubungan penuh intrik. Dan harapan saya sudah kadung melancong ke mana-mana.
Teman saya, Mazda, sudah berkali-kali menyatakan kekagumannya pada Edwin, sang sutradara film (biasanya indie) ini. Belum lagi ternyata karyanya kali ini cukup diakui dengan masuknya "Posesif" ke jajaran aneka penghargaan film tahun 2017.
Kisah berputar dalam hubungan percintaan Lala, si atlet lompat indah, dan Yudhis, anak pindahan di sekolah Lala yang ganteng. Kedua peran ini dimainkan dengan sangat apik oleh Putri Marino dan Adipati Dolken. Kisah cinta berujung pada sikap posesif Yudhis ini membawa Lala pada gaya hidup baru di luar papan lompat indah dan ayahnya yang obsesif.
Cinta Yudhis pada Lala mungkin memang sangat tulus dan dalam, sehingga ia tidak bisa melepaskan Lala apapun alasannya. Di awal hingga pertengahan film, penonton akan diajak suka, sebal, sekaligus ngeri dengan sosok Yudhis. Namun pada akhirnya, penonton dibuat mampu berempati dengan alasan cinta berlebihan kedua sejoli ini.
Saya tidak akan membahas ditail isi filmnya, tentunya.
Film ini bisa dibilang sebagai film paling realistis yang pernah saya tonton. Sudah terlalu sering kita disuguhi film yang sudah tak lagi menjejak bumi. Makanya seringkali kita sampai berseloroh "namanya juga film". Tapi di sini tidak ada yang terlalu berlebihan dalam film berdurasi 102 menit ini. Bosan dong... nggak juga sih.
Coba saya share pemikiran saya di sini...
Pertama, kita sih bisa bilang bahwa ini adalah potret kelam dalam hubungan remaja. Walau dikatakan kelam sebenarnya kasus serupa ini jamak terjadi di kalangan remaja kita, hanya saja either mereka tidak sadar, atau sadar dan menganggapnya wajar. Padahal apakah itu wajar? Penonton bisa menilai lah dari film ini.
Kedua, anak adalah produk parenting orangtua. Tidak percaya? Sekeras apa pun Lala menolak menjadi pengganti sang ibu, sang legenda lompat indah yang dipuja setengah mati oleh sang ayah, Lala tetap tumbuh dengan berkaca kepada impian Ibunya dan ayahnya. Lala juga anak sang ayah, yang walau sekuat tenaga ingin kabur, tetap saja rumah adalah akar hidupnya.
Lalu bagaimana dengan Yudhis? Yudhis yang posesif dan bisa dibilang punya sedikit masalah kejiwaan adalah produk parenting sang ibu. Ibu Yudhis adalah single parent yang ditinggalkan oleh ayah Yudhis sejak kecil. Sifat posesif Yudhis dan kekerasan yang ia lakukan atas nama cinta adalah "satu-satunya cara mencintai yang ia tahu" dari sang Ibu.
Ketiga, begitu realistisnya film ini, sehingga Lala dan Yudhis menyadari bahwa ada yang salah dengan mereka, namun mereka tidak kuasa berbuat lain karena ada alasan sederhana yang hanya akan dipahami mereka yang pernah merasakan, yaitu "cinta". Ya, jatuh cinta di ujung dunia manapun sama, kadang-kadang begitu buta.
Keempat, semakin kental realistisnya ketika kesadaran Yudhis dipertemukan dengan satu-satunya logika yang ada, bahwa ia harus meninggalkan Lala agar mereka berdua tidak jadi gila bersama. Atau bisa jadi juga, Yudhis sebenarnya takut bahwa Lala akan melebihi dirinya, setelah mendengar pernyataan Lala yang mengatakan akan mengejar Yudhis ke ujung dunia mana pun.
Kelima, akhir film yang terkesan menggantung sejatinya adalah ending yang sebenar-benarnya akan terjadi dalam kehidupan nyata. Cinta yang digawangi dengan sikap mengikat tanpa ruang gerak (baca: posesif) tidak akan pernah bisa berjalan baik, dan diperlakukan 1 orang atau keduanya untuk meninggalkan lingkaran setan itu. Dan bila sebelumnya Yudhis memilih meninggalkan Lala yang sudah bersedia menyerahkan hidupnya untuk Yudhis, maka di akhir kisah Lala lah yang memutuskan untuk move-on dari kisah lamanya.
Bagi kebanyakan remaja, apabila ditanya siapakah sosok antagonis dalam film ini... Saya yakin jawabannya adalah Ibu Yudhis. Yes! Bukan Yudhis. Dan fakta jejak pendapat ini mungkin menyakiti hati para orangtua, bahkan sebelum beberapa dari orangtua berkesempatan menonton film ini.
Cut Mini Theo memainkan perannya sebagai Ibu Yudhis dengan sangat baik (seperti biasa), ia digambarkan adalah sosok paling posesif di dalam film ini. Wanita karier sukses yang digambarkan kaya raya berkat kerja kerasnya, begitu (berlebihan) mencintai anaknya karena hanya ia lah satu-satunya yang ia miliki di dunia, pasca ditinggalkan oleh suaminya. Ia adalah, ibu sekaligus ayah, dan (berharap menjadi) seluruh dunia bagi anaknya. Karenanya ia tidak bisa membiarkan puteranya jatuh ke tangan siapa pun, dan caranya mencintai sama dengan Yudhis, menggunakan emosi sebagai alasan untuk mengintimidasi, kemudian menyesal dan meminta maaf. Masalah kejiwaan seperti ini awam sekali terjadi pada masyarakat urban. Hanya saja kadang kita menolak untuk tahu.
Dan karena alasan itu, saya menolak mengatakan bahwa Ibu Yudhis adalah si antagonis. Ia adalah ibu, ibu yang bisa jadi ibu siapa saja, tanpa ada niatan jahat untuk membuat hidup anaknya menderita. Ia hanya tahu dan mengira bahwa "itulah cara mencintai yang benar" agar tidak lagi ditinggalkan.
Saya dengan senang hati merekomendasikan film ini kepada siapa saja, orangtua dan remaja. Karena kita sama-sama bisa berkaca tentang masalah remaja dan parenting melalui film ini.
Komentar
Posting Komentar