Filosofi Kopi (Dee) (Novel)


Fuih.... bagaimana saya harus memulainya?

Buku ini sudah jadi favorit saya beberapa tahun yang lalu, di cetakan pertamanya... yang sampulnya penuh dengan gundukan biji kopi... yang hilang karena dipinjam dan tak pernah dikembalikan. Hikss...

Dan kali ini, dicetakan terbarunya, saya kembali memilikinya... lengkap dengan tanda tangan Dewi Lestari di lembar pertama... wuah!

Saya selalu mengingat pemahaman harfiah saya mengenai filosofi kopi... ada di dalam blog saya yang satu lagi. Betapa kopi adalah representasi dan analogi terbaik mengenai kemampuan manusia mengatasi masalahnya. Kopi bubuk yang masuk ke dalam air panas, memberikan nilai lebih bagi air, dari segi aroma, maupun rasa. Ia berbaur dengan indah... seperti seharusnya cara manusia berinteraksi dan berkompromi dengan masalahnya.

Buku ini adalah kumpulan cerita pendek yang indah... sederhana... namun filosofis. Tapi tak perlu cerdas-cerdas amat untuk memahaminya. Jauh lebih "enteng" ketimbang Madre, atau bahkan Rectovarso.

Seperti biasa, saya akan menampilkan aneka kutipan indah dari bacaan sederhana yang indah:

FILOSOFI KOPI

"... kita tidak bisa menyamakan kopi dengan air tebu. Sesempurna apa pun kopi yang kamu buat, kopi tetap kopi, punya sisi pahit yang tak mungkin kamu sembunyikan. Dan di sanalah kehebatan kopi tiwus... memberikan sisi pahit yang membuatmu melangkah mundur, dan berpikir. Bahkan aku juga telah diberinya pelajaran bahwa uang puluhan juta sekalipun tidak akan membeli semua yang sudah kita lewati. Kesempurnaan itu memang palsu... orang-orang tidak menuntut kesempurnaan seperti Ben's Perfecto. Mereka mencintaimu dan Filosofi Kopi, apa adanya."
pg. 28




MENCARI HERMAN

"Bila engkau ingin satu, maka jangan ambil dua. Karena satu menggenapkan, tapi dua melenyapkan."
pg. 31


SURAT YANG TAK PERNAH SAMPAI 

"Betapa sebelah darimu percaya bahwa setetes air mata pun akan terhitung, tak ada yang mengalir mubazir, segalanya pasti bermuara di satu samudra tak terbatas, lautan merdeka yang bersandingan sejajar dengan cakrawala... dan itulah tujuan kalian."
pg. 41

"Akan tetapi, hidup ini cair. Semesta ini bergerak. Realitas berubah. Seluruh simpul dari kesadaran kita berkembang mekar. Hidup akan mengikis apa saja yang memilih diam, memaksa kita untuk mengikuti arus agungnya yang jujur tetapi penuh rahasia. Kamu, tidak terkecuali."
pg. 42

"Sejarah memiliki tapuk istimewa dalam hidup manusia, tapi tidak lagi melekat utuh pada realitas. Sejarah seperti awan yang tampak padat berisi tetapi ketika disentuh menjadi embun yang rapuh."
pg. 42

"Lama, baru kamu sadari bahwa pengalaman merupakan bagian tak terpisahkan dari hubungan yang diikat oleh seutas perasaan mutual."
pg. 43

"Cinta butuh dipelihara. Bahwa di dalam aspek sepak terjangnya yang serba-mengejutkan, cinta ternyata masih butuk mekanisme agar mampu bertahan.
Cinta jangan selalu ditempatkan sebagai iming-iming besar, atau seperti ranjau yang tahu-tahu meledakkanmu--entah kapan dan kenapa. Cinta sudah dipilih sebaik-baiknya diikutkan di setiap langkah kaki, merekatkan jemari, dan berjalanlah kalian bergandengan..., karena cinta adalah mengalami.
Cinta tidak hanya pikiran dan kenangan. Lebih besar, cinta adalah dia dan kamu. Interaksi. Perkembangan dua manusia yang terpantau agar tetap harmonis. Karena cinta pun hidup dan bukan cuma maskot untuk disembah sujud."
pg. 44

"Betapa sulitnya perpisahan yang dilakukan sendirian.
Tidak ada sepasang mata lain yang mampu meyakinkanmu bahwa ini memang sudah usai. Tidak ada kata, peluk, cium, atau langkah kaku beranjak pergi, yang mampu menjadi penanda dramatis bahwa sebuah akhir telah diputuskan bersama."
pg. 45

"Aku merasakan apa yang kamu rasakan. Yang mendamba untuk mengalami. Aku, yang telah menuliskan surat-surat cinta kepadamu. Surat-surat yang tak pernah sampai."
pg. 47


SELAGI KAU LELAP

"Penunjuk waktuku tak perlu mahal. Memandangmu memberikanku sensasi keabadian sekaligus mortalitas. Rolex tak mampu berikan itu.
... Angka miliaran tadi adalah fakta matematis. Empiris. Siapa bilang cinta tak bisa logis. Cinta mampu merambah dimensi angka dan rasa sekaligus."
pg. 53


SIKAT GIGI

""Itu kebutaan sejati. Kamu memilih jadi tunanetra padahal mata kamu sehat. Kamu tutup mata kamu sendiri. Dan kesedihan kamu pelihara seperti orang mengobati luka dengan cuka, bukan obat merah."
pg. 63

"Banyak hal yang tak bisa dipaksakan, tapi layak diberi kesempatan. Dan, kesempatan itu harus ditawarkan setiap hari oleh kedua belah pihak.
pg. 66


JEMBATAN ZAMAN

"Setiap jenjang memiliki dua dunia sendiri, yang selalu dilupakan ketika umur bertambah tinggi. Tak bisa kembali ke kacamata yang sama, bukan berarti kita lebih mengerti dari yang semula. Rambut putih tak menjadikan kita manusia yang segala tahu."
pg. 69


SEPOTONG KUE KUNING

"Sepasang sepatu tua yang disembunyikan di bawah tangga. Sepatu nyaman yang selalu dipakai ketika kaki pemiliknya letih. Namun, ketika sang pemilik ingin menghadapi dunia, dia tak mungkin memilih sepatu itu. Akan dipakainya sepatu mentereng yang memang diperuntukkan sebagai pendampingnya.
... Memang lebih baik bersama seseorang yang tak punya pilihan lain. Dia cuma punya aku, mau susah atau senang. Aku bukan alternatif."
pg. 78

"Cintanya tidak padam tapi bermutasi, memberi makna baru. Bulan kuningnya tak lebih dari pantulan Bumi yang terus berputar tanpa kompromi, hidup yang bergerak maju tanpa pernah bisa mundur."
pg. 83

SPASI

"Seindah apa pun huruf terukir, dapatkah ua bermakna apabila tak ada jeda? Dapatkah ia dimengerti jika tak ada spasi?"
pg. 98

"Pegang tanganku, tapi jangan terlalu erat, karena aku ingin seiring dan bukan digiring."
pg. 99 

Komentar

Postingan Populer